Perang Jugurthine (112–105 SM) adalah konflik militer antara Republik Romawi dan Jugurtha, raja Numidia, sebuah kerajaan di Afrika Utara yang terletak di wilayah modern Aljazair dan Tunisia. Perang ini menonjol dalam sejarah Romawi karena mengungkap korupsi politik di dalam Republik Romawi serta menunjukkan pentingnya reformasi militer Romawi di bawah komandan Gaius Marius.
Latar Belakang
Numidia awalnya adalah kerajaan yang relatif independen tetapi menjalin hubungan baik dengan Romawi setelah Perang Punisia Kedua (218–201 SM), ketika Numidia bersekutu dengan Romawi melawan Kartago. Setelah kehancuran Kartago pada tahun 146 SM, Numidia semakin memperkuat kedudukannya di Afrika Utara, dan kerajaan tersebut dipimpin oleh raja Micipas.
Ketika Micipas meninggal pada 118 SM, ia meninggalkan kerajaannya kepada tiga pewaris: dua putranya yang sah, Adherbal dan Hiempsal, serta keponakannya Jugurtha, seorang pemimpin militer yang populer dan cakap. Jugurtha telah belajar banyak tentang strategi militer Romawi saat bertugas di pasukan Romawi, dan dia bercita-cita untuk menjadi penguasa tunggal Numidia. Tidak lama setelah kematian Micipas, Jugurtha membunuh Hiempsal dan memaksa Adherbal melarikan diri ke Roma, meminta perlindungan.
Awal Perang
Pada awalnya, Romawi tidak langsung terlibat dalam konflik Numidia. Senat Romawi mencoba menghindari perang besar dan membagi Numidia antara Adherbal dan Jugurtha, dengan Adherbal menguasai wilayah timur yang lebih kaya dan Jugurtha mendapatkan bagian barat. Namun, Jugurtha tidak puas dengan pembagian ini dan, pada 112 SM, ia menyerang wilayah Adherbal, mengepung kota Cirta dan akhirnya menangkap serta membunuh Adherbal.
Pembunuhan Adherbal, serta pembantaian sejumlah warga Romawi yang tinggal di Cirta, membuat Senat Romawi tidak punya pilihan selain bertindak. Jugurtha telah menyuap banyak pejabat Romawi untuk mempertahankan posisinya, tetapi skandal pembunuhan terhadap orang-orang Romawi menyebabkan kemarahan publik, dan Romawi akhirnya menyatakan perang pada tahun 112 SM.
Tahap Awal Perang (112–109 SM)
Pada awal perang, Jugurtha menggunakan taktik gerilya dan kemampuan militernya yang cerdik untuk menghindari kekalahan langsung dari Romawi. Meskipun Romawi mengirim sejumlah pasukan ke Numidia, mereka tidak mampu mengalahkan Jugurtha secara efektif. Korupsi di kalangan komandan Romawi, serta taktik diplomasi dan suap Jugurtha, menyebabkan perang berlarut-larut.
Pada 111 SM, Jugurtha bahkan diundang ke Roma dengan janji pengampunan untuk memberikan kesaksian di depan Senat. Namun, Jugurtha berhasil melarikan diri dan kembali ke Numidia, setelah menyuap pejabat-pejabat Romawi yang berpengaruh. Kegagalannya untuk diproses secara hukum semakin mempermalukan Romawi, yang kini dianggap sebagai negara yang korup dan tidak mampu menegakkan keadilan.
Kebangkitan Gaius Marius (109–105 SM)
Situasi di Romawi mulai berubah ketika Quintus Caecilius Metellus, seorang jenderal Romawi yang kompeten, diangkat sebagai komandan baru pasukan Romawi di Numidia pada tahun 109 SM. Metellus berhasil mengalahkan beberapa kekuatan Jugurtha dan memaksa Jugurtha untuk mundur lebih jauh ke pedalaman Numidia. Namun, kemenangan Metellus tidak berhasil menghentikan perlawanan Jugurtha secara keseluruhan.
Pada tahun 107 SM, seorang tokoh politik baru muncul di Romawi, Gaius Marius, yang sebelumnya adalah perwira di bawah Metellus. Marius, yang berasal dari latar belakang kelas rendah, berusaha memanfaatkan ketidakpuasan rakyat terhadap elite politik yang korup. Ia terpilih sebagai konsul pada 107 SM dan diberi kendali atas perang di Numidia. Salah satu langkah pertama Marius adalah mereformasi angkatan bersenjata Romawi, memperkenalkan rekrutmen sukarela dari kalangan rakyat jelata, yang memperkuat pasukannya.
Kekalahan Jugurtha
Di bawah kepemimpinan Marius, pasukan Romawi mulai memperoleh kemenangan yang lebih signifikan. Marius juga dibantu oleh seorang perwira muda bernama Lucius Cornelius Sulla, yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah Romawi. Sulla memainkan peran kunci dalam salah satu peristiwa penentu perang ketika ia berhasil menangkap Bocchus, raja Mauretania dan sekutu Jugurtha. Sulla kemudian meyakinkan Bocchus untuk mengkhianati Jugurtha dan menyerahkannya kepada Romawi.
Pada tahun 105 SM, Jugurtha ditangkap oleh Sulla dengan bantuan Bocchus dan diserahkan kepada Romawi. Ia kemudian dibawa ke Roma sebagai tawanan perang dan dipamerkan dalam Triumphus, sebuah parade kemenangan militer Romawi. Beberapa bulan setelah pawai kemenangan tersebut, Jugurtha dieksekusi di Tullianum, penjara bawah tanah Roma.
Dampak Perang
Perang Jugurthine berdampak besar bagi Republik Romawi, baik dari segi politik maupun militer:
Korupsi Politik Terungkap: Perang ini mengungkap tingkat korupsi yang meluas di kalangan elite politik Romawi. Upaya Jugurtha untuk menyuap pejabat-pejabat Romawi menyoroti masalah mendasar dalam pemerintahan Romawi yang semakin dirusak oleh kepentingan pribadi dan ketidakadilan.
Reformasi Militer: Kemenangan Romawi dalam perang ini tidak lepas dari reformasi militer yang diperkenalkan oleh Gaius Marius. Marius mengubah sistem perekrutan tentara Romawi, menjadikannya lebih inklusif dengan merekrut tentara dari kelas bawah yang sebelumnya tidak memenuhi syarat. Reformasi ini memperkuat pasukan Romawi dan membantu mereka menjadi lebih tangguh di pertempuran selanjutnya.
Karier Gaius Marius dan Sulla: Perang Jugurthine juga menandai kebangkitan dua tokoh penting dalam sejarah Romawi, yaitu Gaius Marius dan Lucius Cornelius Sulla. Marius akan melanjutkan karier militernya dengan memenangkan berbagai pertempuran penting di masa depan, sementara Sulla, yang memainkan peran penting dalam penangkapan Jugurtha, akan menjadi salah satu tokoh utama dalam Perang Saudara Romawi beberapa dekade kemudian.
Kesimpulan
Perang Jugurthine menandai perubahan penting dalam sejarah Romawi, baik dari segi militer maupun politik. Kemenangan Romawi atas Jugurtha memperkuat pengaruh mereka di Afrika Utara, tetapi juga memperlihatkan masalah internal di dalam Republik yang kelak akan mengarah pada krisis politik dan sosial. Jugurtha sendiri menjadi simbol perlawanan terhadap Romawi, tetapi juga dikenang sebagai tokoh yang menggunakan diplomasi korup untuk melawan musuh yang jauh lebih kuat.
Deskripsi : Perang Jugurthine (112–105 SM) adalah konflik militer antara Republik Romawi dan Jugurtha, raja Numidia, sebuah kerajaan di Afrika Utara yang terletak di wilayah modern Aljazair dan Tunisia.
Keyword : Perang Jugurthine, masakan Perang Jugurthine dan perang
0 Comentarios:
Posting Komentar